Stay in touch
Subscribe to our RSS!
Oh c'mon
Bookmark us!
Have a question?
Get an answer!

Pemerkosaan di Jepang: Tidak Dilaporkan, Delik Aduan, dan Tidak Diproses

0 komentar
delik aduan
Jepang dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat kriminalitas yang rendah. Jumlah kejahatan yang tercatat terkenal dengan tingkat kriminalitas rendah dibandingkan dengan negara maju lain. Tetapi benarkah Jepang seaman itu?
Rachel Halle, bukan nama sebenarnya, adalah mahasiswi yang berkesempatan mengenyam pendidikan selama satu tahun di Jepang. Jelang kepulangannya ke negara asal, ia mengalami pelecehan seksual oleh pria tidak dikenal – yang ternyata juga orang asing -. Awalnya dia enggan melaporkan kasus tersebut pada kepolisian tetapi atas nasihat yang diterima saat ia berkunjung ke klinik, ia memutuskan melaporkan kasus tersebut ke pos kepolisian.
Halle melalui sejumlah interograsi dan setelah ditanya sejumlah pertanyaan (termasuk di antaranya, apa yang ia kenakan dan apakah ia sudah menolak permintaan pria tersebut, serta apakah perkataan “tidak” sebenarnya bermakna iya.)
Polisi tersebut berujar, “Andai saja dia orang asing yang memerkosamu di pinggir jalan.. pasti prosesnya akan lebih mudah.” Dari sini, Halle mengungkap kenyataan pahit seputar kriminalitas dan pemerkosaan di Jepang.
Di Jepang, ada dua macam jenis pemerkosaan, yaitu tsuujou (dilakukan oleh orang tidak dikenal dan dengan unsur kekerasan) dan fushizen (tidak biasa, dilakukan oleh orang yang dikenal korban dan seringkali tanpa kekerasan seksual.) Apa yang ia alami adalah fushizen, dan ini membingungkannya.
Pos polisi tempatnya melapor menyatakan kasus tersebut di luar kewenangannya sehingga ia diarahkan ke kantor yang tepat. Ia mengulang kembali ceritanya dan ditanyai apakah ia benar-benar ingin menjerat sang pelaku, dengan intonasi dan bujukan seolah-olah hal tersebut akan sangat sulit dilakukan. Tak dapat menolak, ia memutuskan untuk tidak meneruskan penyelidikan dan keluar sembari berlinang air mata.
Pasal 177 KUH Pidana Jepang mendefinisikan pemerkosaan sebagai berikut, “barangsiapa yang melakukan hubungan seksual menggunakan ancaman atau kekerasan dengan wanita berumur 13 tahun ke atas, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling sedikit tiga tahun.” Menurut Halle, di Jepang perilaku pemerkosaan masuk dalam delik aduan yang berarti polisi tidak berkewajiban memproses tanpa adanya laporan dari korban. Sebagai gambaran, di Indonesia tindak perkosaan menurut Pasal 285 KUHP termasuk dalam delik biasa dan polisi wajib memproses meski tanpa aduan dari korban.
Laporan perkosaan di Jepang pada tahun 2012 tercatat hanya sebanyak 1.240 aduan (hanya 1 dari 100 ribu orang), tetapi berdasarkan survei Sesneg pada 2011, hanya 3,7 persen korban yang melaporkan kejadiannya ke polisi. Lebih lanjut, hampir 70 persen korban tidak menceritakan pengalamannya pada siapapun, serta dari seluruh laporan akan kriminalitas di Jepang, hanya 30% saja yang pelakunya berhasil ditangkap. Bahkan menurut Kementerian Hukum dan HAM Jepang, pada 2005 hanya 65 persen saja aduan tindak pemerkosaan yang berlanjut ke tahap penyidikan.
Kasus Halle adalah bagian dari fenomena gunung es dari kasus pelecehan seksual di Jepang, negara juga dalam hasil survei, 1 dari 200 wanitanya mengaku pernah berpartisipasi dalam film dewasa. Selain mempertanyakan benarkah Jepang benar-benar aman, hal ini membuka pula cerita buram bagaimana masyarakat Jepang dengan segala tatanannya berinteraksi dengan wanita sebagai seorang individu

0 komentar: