Pemerkosaan di Jepang: Tidak Dilaporkan, Delik Aduan, dan Tidak Diproses
Jepang dikenal sebagai salah satu negara
dengan tingkat kriminalitas yang rendah. Jumlah kejahatan yang tercatat
terkenal dengan tingkat kriminalitas rendah dibandingkan dengan negara
maju lain. Tetapi benarkah Jepang seaman itu?
Rachel Halle, bukan nama sebenarnya,
adalah mahasiswi yang berkesempatan mengenyam pendidikan selama satu
tahun di Jepang. Jelang kepulangannya ke negara asal, ia mengalami
pelecehan seksual oleh pria tidak dikenal – yang ternyata juga orang
asing -. Awalnya dia enggan melaporkan kasus tersebut pada kepolisian
tetapi atas nasihat yang diterima saat ia berkunjung ke klinik, ia
memutuskan melaporkan kasus tersebut ke pos kepolisian.
Halle melalui sejumlah interograsi dan
setelah ditanya sejumlah pertanyaan (termasuk di antaranya, apa yang ia
kenakan dan apakah ia sudah menolak permintaan pria tersebut, serta
apakah perkataan “tidak” sebenarnya bermakna iya.)
Polisi tersebut berujar, “Andai saja dia
orang asing yang memerkosamu di pinggir jalan.. pasti prosesnya akan
lebih mudah.” Dari sini, Halle mengungkap kenyataan pahit seputar
kriminalitas dan pemerkosaan di Jepang.
Di Jepang, ada dua macam jenis pemerkosaan, yaitu tsuujou (dilakukan oleh orang tidak dikenal dan dengan unsur kekerasan) dan fushizen (tidak biasa, dilakukan oleh orang yang dikenal korban dan seringkali tanpa kekerasan seksual.) Apa yang ia alami adalah fushizen, dan ini membingungkannya.
Pos polisi tempatnya melapor menyatakan
kasus tersebut di luar kewenangannya sehingga ia diarahkan ke kantor
yang tepat. Ia mengulang kembali ceritanya dan ditanyai apakah ia
benar-benar ingin menjerat sang pelaku, dengan intonasi dan bujukan
seolah-olah hal tersebut akan sangat sulit dilakukan. Tak dapat menolak,
ia memutuskan untuk tidak meneruskan penyelidikan dan keluar sembari
berlinang air mata.
Pasal 177 KUH Pidana Jepang
mendefinisikan pemerkosaan sebagai berikut, “barangsiapa yang melakukan
hubungan seksual menggunakan ancaman atau kekerasan dengan wanita
berumur 13 tahun ke atas, diancam karena melakukan perkosaan dengan
pidana penjara paling sedikit tiga tahun.” Menurut Halle, di Jepang
perilaku pemerkosaan masuk dalam delik aduan yang berarti polisi tidak
berkewajiban memproses tanpa adanya laporan dari korban. Sebagai
gambaran, di Indonesia tindak perkosaan menurut Pasal 285 KUHP termasuk dalam delik biasa dan polisi wajib memproses meski tanpa aduan dari korban.
Laporan perkosaan di Jepang pada tahun
2012 tercatat hanya sebanyak 1.240 aduan (hanya 1 dari 100 ribu orang),
tetapi berdasarkan survei Sesneg pada 2011, hanya 3,7 persen korban yang
melaporkan kejadiannya ke polisi. Lebih lanjut, hampir 70 persen korban
tidak menceritakan pengalamannya pada siapapun, serta dari seluruh
laporan akan kriminalitas di Jepang, hanya 30% saja yang pelakunya
berhasil ditangkap. Bahkan menurut Kementerian Hukum dan HAM Jepang,
pada 2005 hanya 65 persen saja aduan tindak pemerkosaan yang berlanjut
ke tahap penyidikan.
Kasus Halle adalah bagian dari fenomena
gunung es dari kasus pelecehan seksual di Jepang, negara juga dalam
hasil survei, 1 dari 200 wanitanya mengaku pernah berpartisipasi dalam
film dewasa. Selain mempertanyakan benarkah Jepang benar-benar aman, hal
ini membuka pula cerita buram bagaimana masyarakat Jepang dengan segala
tatanannya berinteraksi dengan wanita sebagai seorang individu
0 komentar: